Penelitian tentang
Matematika Realistik bertujuan untuk mengungkapkan perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan pendekatan matematika realistik
dengan pembelajaran biasa. Populasi penelitian adalah siswa SMP di Kota Medan,
dengan sampel siswa kelas VIII yang diambil secara acak kelas dari sekolah
peringkat tinggi, sedang dan rendah berdasarkan perolehan nilai Ujian Nasional Tahun
2008 yang dikeluarkan Diknas.
Matematika realistik, yang di negeri asalnya,
Belanda, disebut Realistic Mathematics
Education (RME) dan telah berkembang sejak tahun 1970-an. Adapun filosofi yang mendasari pembelajaran matematika realistik adalah bahwa matematika dipandang sebagai aktivitas manusia (Freudenthal,1991; Treffers & Goffre, 1985;
Gravemeijer, 1994; Moor, E. 1994; de Lange,
1996). Sehingga matematika tersebut
harus tidak diberikan kepada siswa dalam
bentuk ‘hasil-jadi’, melainkan siswa
harus mengkonstruk sendiri isi
pengetahuan melalui penyelesaian
masalah-masalah kontekstual secara
interaktif, baik secara informal maupun
secara formal, sehingga mereka menemukan sendiri atau dengan bantuan orang dewasa/guru (guided reinvention), apakah jawaban mereka
benar atau salah.
Sejak tahun 2001,
Indonesia, mulai mengadaptasi dan
menerapkan RME di beberapa sekolah
tingkat SD/MI, dan diberi nama
Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Hal ini disebabkan
konsep RME sejalan dengan kebutuhan
untuk memperbaiki pendidikan matematika
di Indonesia yang didominasi oleh
persoalan bagaimana meningkatkan
pemahaman siswa tentang matematika dan bagaimana mengembangkan daya
nalar yang bersifat demokratis. Beberapa
hasil penelitian terhadap pendekatan
matematika realistik menemukan bahwa
penalaran, prestasi dan minat belajar matematika siswa lebih baik bila
dibandingkan dengan pembelajaran biasa.
Tahapan RME yang dilakukan dalam pembelajaran
matematika realistik, diawali dengan pemberian tantangan atau masalah
kontekstual, memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami dan
menyeelesaikan secara individu atau kelompok, kemudian mendiskusikan hasil
secara klasikal sebagai refleksi. Pembelajaran di lakukan dengan cara diskusi
kelompok yang beranggotakan 3-5 orang. Hal ini di lakukan dengan tujuan
mengaktikan siswa secara interaktif dalam kelompok, memudahkan peneliti atau
pengajar dalam memberikan bantuan melalui bantuan melalui bentuk
pertanyaan-pertanyaan (scaffolding) da menumbuhkan pengetahuan siswa. Starting
point pembelajaran matematika realistic dalam penelitian ini adalah memberikan
masalah kontekstual berupa tantangan kepada siswa. Masalah tersebut dapat
berupa latihan, pembentukan atau penemuan konsep, prosedur atau strategi penyelesaian
non rutin maupun aturan-aturan dalam matematika. Fungsi guru dalam pembelajaran
matematika realistik adalah sebagai fasilitator, mediator dan harus bersikap
memahami siswa bahwa kesalahan yang dilakukan oleh siswa adalah bukan karena
kemauannya, tetapi disebabkan kekurangan informasi yang ia miliki. Jadi, guru
harus memiliki pandangan bahwa memahami berarti memaafkan segalanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang diberi pendekatan matematika realistik dengan pembelajaran
biasa, 2) terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan peringkat sekolah, 3) terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan gender, 4) tidak terdapat
interaksi antara pendekatan pembelajaran
dengan peringkat sekolah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa, 5) tidak terdapat
interaksi antara pendekatan pembelajaran
dengan gender terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa, dan 6) siswa memiliki respon yang
positif terhadap pembelajaran matematika
realistik. Secara umum, melalui pembelajaran matematika realistik dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dengan demikian, yang menjadi saran atas hasil
penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika
realistik dapat diimplementasikan dalam
upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan tidak harus
membedakan peringkat sekolah dan gender.